Tuesday 27 August 2013

Ini Zaman Gila Entah Apa oleh Muhd Andi Mohd Zulkepli

Zaman malang macam apa ini
Orang-orang lebih enak mengagungkan dan mentuhankan kuasa dalam kekuasaan
sungguhpun sesak nafas di segenap lubang
tetap setia bertahan
tanpa kompromi
tunduk
akur tunduk
memang telah wafatlah ruh
lebih tidak bererti daripada jasad yang tanpa ruh
kalau sekadar rutin dan patuh segala
tanpa benar berpegang pada rasio dan sikap hati
dan tanpa utuh teguh pada budi dan pekerti
dan tiadalah makna pekerti
jika disentak terpacul berdiri
tapi kosong tanpa rasa kasih dan manusiawi.

Muhd Andi Mohd Zulkepli

Mempertimbangkan Tradisi oleh Muhd Andi Mohd Zulkepli

Ada satu tradisi dalam lipatan sejarah manusia yang harus kita godam, ketuk dan ubah!
Bahawa jangan dpandang bezanya anak muda dan dewasa - mereka adalah sama!
Ada jalangnya bilamana anak muda acapkali dilabel mentah, kebudak-budakan dan sebagainyalah
itu kita harus ubah!
jangan dibilang apa orang dewasa sudah cukup betul sebetulnya
dan sesempurna rupa katanya!
tidak!
karena sebagaimana hukum alam telah menentukan,
tidak ada suatu yang sempurna dan takkan pernah kita dalam keadaan yang sempurna sebagai manusia!
karena jika tidak, kita sudah Tuhan namanya!
nah, di sini harus kita ambil renung kembali!
bukanlah suara anak muda hendak biadap dan kurang ajar
namun,
suara ini adalah suara kemanusiaan yang membutuhkan pendewasaan akal dan pematangan fikiran bagi setiap lapik generasi zaman berzaman
kalau kita ingin bangunkan bangsa manusia yang lebih bertamadun katanya!
ini yang perlu kita gegar tanpa gentar!
jiwa anak muda ini jangan pudar semakin zaman berlalu
karena jiwa anak muda adalah jiwa penuh optimis dan harapan!
jangan kita suapkan rohani anak muda kita dengan anarkisme melulu pun, jangan!
jangan kita suapkan batin anak muda kita dengan fatalisme untuk terus hidup pun, jangan!
jangan kita biarkan materialisme, individualisme dan segala isme yang membusuk menanahkan mentari masa depan pun, jangan!
bahawa yang harus dan wajib kita kedepankan
anak-anak muda yang jiwanya kental membawa angin perubahan
yang berani untuk melawan, di saat ketidakadilan mengacau sukma
kita tak ajar pun, untuk menitiskan darah apatah lagi untuk membunuh, tidak!
tapi ada satu seruan dan semangat yang wajib kita perdendangkan
joget zaman yang tak sudah memerlukan rentak rancak semangat baru
dan apakah semangat baru itu?
nah- di sinilah kita berhenti bermukim pada pemahaman lalu
dan kita gertak dan goncang hingga berani kita mencorak dan mengukir
mencanting dan mewarna
sebuah impian masa depan yang lebih mulus dan murni
dan idealisme - jangan pernah dibunuh!
di saat anak muda masih muda
anak muda memang masih muda
tapi jangan lupa
kau, kau dan kau juga yang selalu merindui kenangan masa muda
karena kau, kau dan kau tahu
darah muda memang menggetar jiwa!

Muhd Andi Mohd Zulkepli

Penjarahan oleh Muhd Andi Mohd Zulkepli

Jangan terlalu jauh kau pandang penjarahan yang berlaku di luar sana, adikku
sungguhpun benar, kita harus bersatu bersama dengan yang terluka
namun jangan pula kau terlupa atau terus buta
dengan penjarahan yang berwewenang di depan mata
jangan kau terjebak dengan dendangan merdu suara santun
biar kau dengar teriak menerjah
tapi itulah pernyataan yang paling jujur kau pernah dengarkan
sepanjang detik sejarah sekelumit yang ada
yang turut sama dijarah oleh mereka.

Muhd Andi Mohd Zulkepli

Monday 26 August 2013

Si Potek oleh Noridah Kamari

hati-hati seberang jalan
maklum mata kurang awas
sudah berzaman duduk terkebil
masih mencari uuk garisan

satu tapak maju, dua langkah surut

teraba-raba takut tersandung batu, terpijak duri
tak berani berlaga mata dengan matahari
takut penyakit tambah mudarat nanti

orang sudah lama jejak bulan

Si Potek masih tertenggek bagaikan pungguk
sekadar menikmati limpahan cahaya
tidak mampu renung jauh dari itu

kalau dihisab dari janji Demang Lebar Daun

usia sudah masuk beribu kurun
dikira pula tarikh kemerdekaan negara
tahun ini genaplah 40 tahun
Si Potek masih mengukur bayang sendiri
demi penakatan, hidup untuk hari ini

ini penyakit Sultan Hussein dan Temenggong

syahadan tanah sekangkang
ditukar menjadi 8,000 kupang
didarab 12 bulan

di perut Boat Quay

senyuman Raffles
masih terpahat di tugu hitam-putih
di muzium Sentosa
tawa Farquhar
masih sayup bergema
antara patung-patung lilin

Si Potek pun tetap diingati

siap bagai siaga
lengkap dengan songkok dan kain pelekat
terukir dari logam gangsa
terus kaku berdiri depan Hotel Fullerton
selamanya mendengar perintah penjajah

salahkanlah indera mata

yang tidak dapat lihat
langkah masa dari satu tandatangan
tangis bangsa dari satu perjanjian
lenyaplah nama zuriat di surat wasiat

dan darah-keringat anak-anak

mengalir bak Sungai Singapura
mencari titik permulaan
adakah di tapak tugu penjajah
atau hujung dayung nelayan?

Noridah Kamari 


Rujukan: Noridah Kamari & Farihan Bahron, (2005). Kail Panjang Sejengkal: Antologi Puisi. Singapura: [s.n.] 

Mata Mata oleh Noridah Kamari



di balik lensa kamera lif
di celah dahan pohon ekspreswe
di corong lorong imigresen
di belakang cermin mesin ATM
di sudut gedung membeli-belah
di tengah peron stesen MRT
di pinggir sana, di tepi situ

di perut patung anak beruang

di lopong pena ejen perisik
di garisan yang dilintang
di lampu merah menyala
di pelekat-pelekat amaran
di sepanduk nasihat kelakuan 
di atas sana, di bawah situ

dikepung dibendung diselindung dikelubung

dibungkus disampul dibalut disalut
ditirai dilangsir disembunyi dikunci
disemat disumbat dibebat dikerat
digulung disarung ditembok dibenteng
dikecil dilapik dialas digalas
diramping dilangsing dikurus dihalus

diawasi setiap gerak tersumbang geri

dirakam setiap tangan tersilap capai
diteliti setiap langkah tersalah jejak

di balik perih renung ibu

di celah kalimah kitab suci
di corong jalan arah masjid
di belakang kaca tabung dana
di sudut hati paling dalam
di tengah medan permainan akal
di sipi jalur urat leher

mata mata

mata mata
mata mata
yang tidak kulihat
terus memerhati
di setiap penjuru ruang
di seluruh lingkaran masa

Noridah Kamari


Rujukan: Noridah Kamari & Farihan Bahron, (2005). Kail Panjang Sejengkal: Antologi Puisi. Singapura: [s.n.]